
Oleh : Hari Purnomo, M.E. *
“Dewan Kesenian Blambangan, lembaga yang seharusnya menjadi penggerak utama perkembangan seni dan budaya di Banyuwangi, justru seperti mesin tua yang berkarat. Ada suara, tapi tidak ada gerak nyata. Ada keberadaan, tapi kehilangan makna.”
Dewan Kesenian Blambangan (DKB) berdiri sebagai lembaga yang secara formal diharapkan mampu mengemban amanah besar dalam pengembangan seni dan budaya di Banyuwangi. Sebagai wilayah yang kaya akan tradisi dan keragaman budaya, Banyuwangi dikenal dengan kekuatan seni tradisinya seperti Gandrung, Seblang, Janger, Barong serta berbagai kesenian tradisional yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat. Namun, di tengah dinamika perkembangan zaman, eksistensi Dewan Kesenian Blambangan justru tampak paradoksal dan ironi. Lembaga yang seharusnya menjadi motor penggerak kreativitas dan fasilitator bagi para seniman justru terkesan berjalan di tempat, mandul dan jauh dari yang diharapkan masyarakat seni Banyuwangi.
Masyarakat Banyuwangi, khususnya para seniman dan pegiat budaya, mulai mempertanyakan eksistensi Dewan Kesenian Blambangan. Di tengah tuntutan zaman yang semakin kompleks, lembaga ini justru terjebak dalam kebuntuan visi dan miskin inovasi. Keluhan terhadap peran Dewan Kesenian Blambangan semakin nyaring, merupa rentetan fakta yang dapat dilihat dari rendahnya trust publik terhadap lembaga ini. Para seniman merasa tidak diakomodasi, komunitas seni dibiarkan berjalan sendiri tanpa dukungan, dan program-program yang dijalankan sering kali terkesan seremonial belaka, jauh dari esensi pengembangan ekosistem seni dan budaya yang diharapkan. Jika ditelaah lebih dalam, keberadaan Dewan Kesenian Blambangan seperti kapal yang tidak memiliki nahkoda, berlayar tanpa arah dan berpotensi karam di tengah lautan ketidakpastian.
Dewan Kesenian Blambangan seharusnya mampu menjawab persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi oleh seniman di Banyuwangi, seperti akses terhadap ruang berkarya, pembinaan komunitas, serta distribusi anggaran yang adil dan transparan. Namun, realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya. Alih-alih menjadi fasilitator dan pendukung perkembangan seni dan budaya, Dewan Kesenian Blambangan justru tampil bak menara gading yang jauh dari kebutuhan seniman. Sebagai contoh, komunitas seni lokal kerap merasa kesulitan mendapatkan dukungan atau akses ke program-program yang seharusnya melibatkan mereka. Alih-alih membangun sinergi, pemahaman dan persepsi ihwal kolaborasi masih menjadi tahayul – Dewan Kesenian Blambangan justru memperlihatkan jarak yang semakin melebar antara lembaga dan para pelaku seni maupun di ruang komunitas antar lembaga.
Kemandulan Dewan Kesenian Blambangan juga diperparah oleh masalah internal yang tak kunjung terselesaikan. Tak kunjung disudahi, di antara sesama anggota masih saja terjadi perdebatan berkepanjangan mengenai tugas dan fungsi kelembagaan. Sebagian pihak berpandangan bahwa Dewan Kesenian Blambangan hanya bertugas sebagai perumus kebijakan seni, bukan sebagai penyelenggara kegiatan. Sebagian lainnya justru berpegang pada dalil yang termaktub pada Surat Keputusan Bupati Banyuwangi No. 188/524/KEP/429.011/2023 yaitu secara gamblang menugaskan Pengurus Dewan Kesenian Blambangan untuk melakukan perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi program seni dan budaya. Perbedaan persepsi ini menimbulkan resistensi internal dan membuat langkah Dewan Kesenian Blambangan semakin gamang dan mengambang. Dengan kondisi internal yang carut – marut, sulit membayangkan bagaimana lembaga ini mampu menjalankan perannya secara aktif dan efektif di tengah masyarakat.
Ironi ini semakin diperjelas ketika bicara soal mekanisme anggaran. Regulasi sudah menyebutkan bahwa biaya operasional dan program Dewan Kesenian Blambangan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Banyuwangi. Namun, dalam praktiknya, mekanisme distribusi anggaran justru sarat masalah. Banyak program yang terlaksana dengan dana pinjaman dari anggota atau orang lain terlebih dahulu, baru kemudian diganti melalui skema pelaporan yang rumit dan berbelit-belit. Misalnya, seperti yang terjadi pada perhelatan pameran seni rupa dalam memperingati Harjaba tahun 2024. Situasi ini bukan hanya menghambat efektivitas program tetapi juga menambah beban kerja administratif dan membuka peluang terjadinya penyimpangan yang merugikan banyak pihak.
Dengan realitas seperti ini, pantaslah jika masyarakat seni di Banyuwangi mulai kehilangan kepercayaan terhadap Dewan Kesenian Blambangan. Padahal, potensi seni dan budaya di Banyuwangi yang begitu besar, membutuhkan lembaga yang mampu merangkul, memfasilitasi dan memberdayakan komunitas seni agar karya-karya mereka dapat tumbuh dan berdampak luas. Dewan Kesenian Blambangan seharusnya hadir sebagai ruang dialog, sebagai jembatan antara seniman, masyarakat dan pemerintah daerah. Namun hingga saat ini, peran tersebut masih sebatas wacana.
Di manakah posisi Dewan Kesenian Blambangan dalam peta pengembangan seni dan budaya di Banyuwangi ? Apakah Dewan Kesenian Blambangan masih mampu kembali ke posisi idealnya sebagai lembaga yang menjadi kebanggaan para seniman, ataukah lembaga ini akan terus menjadi simbol kegagalan sebuah institusi yang kehilangan arah ? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang perlu dijawab demi masa depan seni dan budaya Banyuwangi yang lebih baik.
Bersambung …
* Penulis merupakan Dosen dan Pengamat Budaya