Aktual LineAktual LineAktual Line
  • Home
  • Kolom Sana-Sini
  • Hukum dan Kriminal
  • Pemerintahan
  • Peristiwa
  • Politik
  • Layanan Publik
Search
Technology
  • Lifestyle
  • Esai
  • Religi
  • Seni/Budaya
Health
Entertainment
  • Home
  • Kolom Sana-Sini
  • Hukum dan Kriminal
  • Pemerintahan
  • Peristiwa
  • Politik
  • Layanan Publik
© 2022 Foxiz News Network. Ruby Design Company. All Rights Reserved.
Reading: Kritik Taufiq Wr. Hidayat terhadap Formalisasi Budaya – Sebuah Resensi
Share
Sign In
Notification Show More
Font ResizerAa
Aktual LineAktual Line
Font ResizerAa
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom Sana-Sini
  • Hukum dan Kriminal
  • Pemerintahan
Search
  • Peristiwa
  • Politik
  • Sosial
  • Esai
  • Infrastruktur
  • Religi
  • Literasi
  • Layanan Publik
Have an existing account? Sign In
Follow US
© 2022 Foxiz News Network. Ruby Design Company. All Rights Reserved.
Literasi

Kritik Taufiq Wr. Hidayat terhadap Formalisasi Budaya – Sebuah Resensi

Redaksi
Last updated: 22/12/2024 18:56
Redaksi
Share
12 Min Read

Oleh : Hari Purnomo, M.E. *

“Endhog-Endhogan : Makna Tradisi dan Lembaga Formal di Banyuwangi”, merupakan judul karya esai yang ditulis oleh Taufiq Wr. Hidayat dan dimuat dalam Jurnal Katarsis Edisi 06 Bulan April tahun 2006. Jurnal Katarsis diterbitkan oleh Forum Penegak Demokrasi Rakyat Semesta – Banyuwangi. Esai tersebut membahas tentang tradisi Endhog-Endhogan, sebuah kesenian tradisi yang unik dan khas dari Banyuwangi, serta bagaimana tradisi ini mulai berinteraksi dengan lembaga-lembaga formal khususnya dalam konteks modernisasi dan komersialisasi.

Tradisi Endhog-Endhogan merupakan bagian integral dari peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang dilaksanakan oleh masyarakat Banyuwangi, baik di kota maupun di desa. Taufiq menjelaskan bahwa Endhog-Endhogan adalah sebuah bentuk kesenian tradisional yang telah berlangsung selama bertahun-tahun dengan ciri khas mengarak telur rebus yang ditancapkan pada batang bambu sekaligus dihiasi dengan kembang kertas berbentuk seperti tusuk sate yang dikenal sebagai Kembang Mulud. Tradisi Endhog-Endhogan melibatkan partisipasi masyarakat dalam pencanaan sampai pelaksanaannya. Bentuk partisipasi masyarakat diwujudkan melalui sumbangan telur yang kemudian direbus lalu dihias dan diarak keliling desa. Arak-arakan ini biasanya dimulai dengan pembacaan Sholawat dan puji-pujian terhadap Nabi Muhammad SAW. Kemudian, kegiatan dilanjutkan dengan pembacaan Barzanji dan menyanyikan tembang Waru Doyong, yang secara khusus dinyanyikan dalam ritual Endhog-Endhogan.

Sejarah dari tembang Waru Doyong dijelaskan secara singkat oleh Taufiq, yang menurut versi masyarakat pertama kali diciptakan di desa Karangrejo, Banyuwangi. Pencipta asli dari tembang ini tidak dapat dipastikan, namun dua tokoh yaitu Kiyai Abdul Jalal dan Guru Juned dikenal oleh masyarakat Karangrejo sebagai tokoh yang mempopulerkannya. Menurut Taufiq, Endhog-Endhogan bukan sekadar tradisi tanpa makna akan tetapi sarat dengan nilai filosofis luhur seperti menghargai kebersamaan, semangat gotong royong dan menjunjung tinggi nilai spiritual dan keagamaan. Syair Waru Doyong yang dilantunkan dalam prosesi tersebut misalnya, mengandung doa dan pujian kepada Nabi Muhammad SAW dan melantunkan syair tersebut merupakan bagian dari menanamkan nilai-nilai keimanan kepada masyarakat.

Syair Waru Doyong memiliki makna sebagai ungkapan doa kepada Allah SWT. Melalui lirik lagu yang penuh nuansa spiritualitas, syair ini berfungsi sebagai sarana untuk menanamkan nilai-nilai keimanan dalam masyarakat. Penampilan syair ini tidak hanya sebatas dan sekadar pemanis ritual, tetapi juga menjadi momen refleksi bagi para pendengarnya dan sekaligus menjadi sarana memperkuat ikatan mereka dengan ajaran Islam. Penghayatan terhadap syair Waru Doyong dapat mempererat tali silaturahmi dan menciptakan rasa kebersamaan antar sesama manusia. Syair ini juga berfungsi sebagai pengingat akan pentingnya akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari.

Bagian penting dari esai ini adalah pembahasan tentang interaksi antara tradisi Endhog-Endhogan dengan peran lembaga formal, terutama pemerintah daerah. Taufiq mengkritik upaya pemerintah melalui Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Banyuwangi yang ingin mendaftarkan tradisi Endhog-Endhogan ke Museum Rekor Indonesia (MURI). Menurut Taufiq, upaya ini merupakan bentuk intervensi terhadap tradisi yang telah hidup dan berkembang secara alami di tengah masyarakat.

Tradisi Endhog-Endhogan bisa bertahan karena adanya semangat militansi dari masyarakat Banyuwangi. Mereka menjaga keberlangsungan tradisi ini sebagai bagian dari identitas budaya mereka, di luar pengaruh atau intervensi dari pihak luar. Endhog-Endhogan bisa terus hidup, tumbuh dan berkembang karena masyarakat Banyuwangi menghargai nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam pelaksanaan tradisi tersebut, tanpa merasa perlu untuk merubah atau menyesuaikannya dengan kondisi ekonomi, sosial dan politik dalam negeri yang fluktuatif. Masyarakat tetap setia pada pelestarian tradisi tersebut bagaimanapun situasinya.

Pada tahun 2006, tradisi ini mendapat perhatian dari Pemerintah Kabupaten Banyuwangi melalui Dinas Pariwisata Seni dan Budaya. Mereka berupaya mendaftarkan tradisi Endhog-Endhogan ke Museum Rekor Indonesia dengan menampilkan 6000 butir telur dalam sebuah Jodhangan sebagai bagian dari perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW dan harapannya bisa dikenal secara nasional. Pertama kali usulan tersebut disampaikan oleh Samsudin Adlawi dalam sebuah pertemuan dengan pengurus dan Remaja Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi. Samsudin Adlawi merupakan General Manager Radar Banyuwangi.

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi pun merespons positif dengan mendukung kegiatan tradisi Endhog-Endhogan dalam pengajuannya ke Museum Rekor Indonesia. Hal ini mirip dengan upaya sosialisasi dari program BIRR (Banyuwangi Ijo Royo-Royo) yang disponsori oleh Sampoerna Hijau bekerjasama dengan Radar Banyuwangi. Ironis, kita perlu menyadari bahwa hal yang demikian menunjukkan betapa bentuk komersialisasi telah menjadi semboyan politis kekuasaan dalam slogannya, BIRR. Nyaris sama polanya dengan upaya mem-viral kan secara masif aktivitas perdukunan – misalnya dukun pawang hujan, dukun pesugihan, dukun beranak, dukun politik dan seterusnya.

Komersialisasi tradisi, seperti upaya pemecahan rekor nasional dengan jumlah telur terbanyak, justru akan mereduksi makna filosofis dari tradisi Endhog-Endhogan itu sendiri. Hal tersebut menjadi konsen Taufiq untuk membangun penyadaran kepada masyarakat. Kesenian tradisi yang semula merupakan manifestasi dari interaksi sosial yang murni tumbuh di masyarakat secara alami, kini terancam kehilangan esensinya karena campur tangan dari lembaga formal dan Pemerintah Daerah yang berorientasi pada pencapaian rekor dan hanya mengejar bentuk pengakuan.

Taufiq menjelaskan bahwa kebudayaan adalah hasil dari interaksi alami yang kompleks didalam segenap unsur dalam masyarakat, tanpa campur tangan eksternal dari lembaga formal atau pemerintah bahkan dari lembaga kesenian sekalipun. Budaya, menurut penulis, adalah seni kehidupan yang berkembang dengan alamiah melalui sebuah interaksi yang kompleks. Konsep ini ditegaskan melalui istilah Human Culture Interaction. Taufiq juga menegaskan bahwa campur tangan lembaga-lembaga formal tertentu atau pemerintah dapat merusak esensi asli dari tradisi dan budaya itu sendiri.

Ketika lembaga formal, termasuk pemerintah mulai memaksakan formula tertentu dari budaya maka hal itu bisa berakibat pada distorsi demokrasi budaya. Kata Taufiq lebih lanjut, bahwa intervensi semacam ini adalah ancaman serius terhadap otonomi masyarakat dalam mempertahankan dan mengembangkan kesenian tradisi mereka. Apapun bentuk intervensi meskipun sepele, bisa berdampak besar pada jangka panjang nya. Taufiq menegaskan bahwa campur tangan pihak pemerintah yang sifatnya komersialisasi tersebut dapat menyebabkan hilangnya nilai-nilai kesadaran manusia terhadap orisinalitas didalam karya budaya mereka. Akan terjadi degradasi dalam pembentukan kualitas budaya dan peradaban yang pada akhirnya akan meruntuhkan tingkat kreativitas yang seharusnya menjadi ciri khas dari budaya yang hidup.

Taufiq menyikapi secara kritis langkah Pemerintah Kabupaten Banyuwangi yang berencana mendaftarkan tradisi Endhog-Endhogan ke Museum Rekor Indonesia. Taufiq menilai tindakan ini sebagai bentuk pelanggaran etika terhadap tradisi tersebut dan sebuah intervensi yang merusak otonomi budaya yang telah diwariskan secara turun-temurun. Menurut Taufiq, usaha untuk mencatatkan tradisi ini ke MURI dengan fokus pada kuantitas telur sebanyak 6000 butir, secara fundamental merendahkan nilai tradisi nya. Tradisi Endhog-Endhogan memiliki kualitas yang tidak terletak pada banyaknya telur rebus yang digunakan, melainkan pada partisipasi masyarakat dalam menyumbangkan telur sebagai simbol kebersamaan dan bentuk interaksi sosial. Esensi dari tradisi Endhog-Endhogan adalah makna filosofis yang terkandung dalam setiap elemen ritualnya bukan sekadar angka atau jumlah yang bisa dicatat dalam museum rekor.

Lebih lanjut, Taufiq melayangkan kritik bahwa fokus pada pencatatan rekor ini menggeser nilai-nilai tradisi dari interaksi yang lebih manusiawi dan bermakna ke arah pemberian penghargaan komersial yang dangkal. Dengan mendatangkan juri dari MURI, tradisi Endhog-Endhogan akan berisiko kehilangan orisinalitasnya karena akan dinilai berdasarkan standar yang tidak relevan dengan esensi budaya lokal. Taufiq melihat bahwa lembaga formal telah mencederai nilai-nilai kemurnian tradisi Endhog-Endhogan dengan memasukkannya ke dalam kerangka penilaian yang tidak sesuai.

Penghargaan dari lembaga seperti MURI tidak memberikan sumbangan yang berarti terhadap pelestarian budaya lokal selain bentuk popularitas yang fana dan sementara. Sebaliknya, justru merendahkan kesenian tradisi yang selama ini dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat Banyuwangi. Taufiq mempertanyakan, apakah tradisi yang luhur dan sarat makna harus dinilai dan diukur berdasarkan kriteria yang dangkal seperti jumlah, misalnya. Pertanyaan ini menyoroti kekhawatirannya tentang masa depan kesenian tradisi yang mungkin akan kehilangan autentisitasnya.

Diperbandingkan oleh Taufiq situasi yang demikian dengan gagasan dari pihak DHC ’45 yang suatu waktu mengusulkan beberapa pahlawan lokal Banyuwangi untuk diusulkan sebagai Pahlawan Nasional. Upaya tersebut bagi Taufiq merupakan tindakan kampungan yang lebih mementingkan pengakuan formal daripada menghargai nilai-nilai yang diwariskan dari para pahlawan tersebut.

Maka, kembali ditekankan oleh Taufiq terkait peran Pemerintah bahwa jika setiap kegiatan yang diadakan tidak memiliki target budaya yang jelas, maka lembaga tersebut hanya akan berfungsi untuk menjangkau target yang tidak relevan. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga-lembaga formal atau Pemerintah Daerah harus memiliki pemahaman tentang konteks kebudayaan masyarakat Banyuwangi. Target yang tidak tepat justru mendorong masyarakat untuk hanya mengejar popularitas dan pengakuan semata, daripada upaya kolektif untuk mempertahankan esensi budaya mereka sendiri. Menurut Taufiq, keberadaan lembaga-lembaga formal seharusnya tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga harus mampu mengembangkan potensi kreatif masyarakatnya sehingga menghasilkan interaksi yang lebih produktif antara masyarakat dan budaya lokalnya.

Taufiq menggarisbawahi bahwa lembaga formal termasuk Pemerintah Daerah seharusnya berfungsi sebagai alat untuk memfasilitasi tumbuh kembangnya dinamika masyarakat, bukan hanya sebagai pengatur. Lembaga-lembaga formal tersebut perlu bertransformasi dari peran yang sekadar mengawasi menjadi mendukung masyarakat dalam mengembangkan sisi kreativitasnya. Taufiq menggunakan istilah juragan atau tukang dekte untuk menggambarkan perubahan peran ini, masyarakat seharusnya didorong untuk berinovasi bukan hanya mengikuti arahan yang diberikan. Maka, betapa pentingnya kerja kolaborasi antara pemerintah, lembaga formal dan masyarakat untuk menciptakan budaya yang dinamis dan relevan.

Taufiq juga memberi perhatian khusus pada risiko kehilangan identitas budaya jika masyarakatnya hanya fokus pada formalitas dan pengakuan dari pihak luar. Jika lembaga formal tidak memahami dan menghargai akar budaya setempat mereka akan menjadi alat yang justru dapat mengikis nilai-nilai tradisional. Ketika masyarakat hanya menjadi robot yang hanya patuh mengikuti instruksi, kreativitas dan kebudayaan yang hidup di dalamnya akan terancam punah. Oleh karena itu, Taufiq mengingatkan bahwa penting bagi pemerintah dan lembaga formal yang ada di Banyuwangi untuk berfungsi sebagai tombol yang mengaktifkan potensi masyarakatnya bukan sebagai penghalang. Budaya dan sejarah merupakan dua hal yang menjadi milik masyarakat, kata Taufiq. Sehingga, diperlukan pendekatan yang lebih inklusif dalam pengembangan budaya di Kabupaten Banyuwangi. Jika lembaga formal tidak mampu beradaptasi dan mengakomodir suara dari masyarakat, maka mereka akan kehilangan relevansi dan masyarakat akan kehilangan kepercayaan. Taufiq mengingatkan, bahwa sejarah dan budaya bukanlah sesuatu yang statis mereka terus berkembang melalui pola interaksi yang dinamis antara individu dan masyarakatnya.

* Penulis merupakan Dosen dan Pengamat Budaya

You Might Also Like

Belajar di Luar Kelas, Siswa SMPN 2 Rogojampi Asah Kemampuan Literasi dan Jurnalistik

Pustakawan di Mata Penulis Buku Jejak Kritik, Moh Husen: Penjaga Arah Berpikir Masyarakat

SMSI Jatim Ajak Kemendikdasmen Berkolaborasi Tingkatkan Literasi Guru dan Siswa

Sinergi Jurnalis dan Pegiat Literasi, Banyuwangi Rancang Ekosistem Literasi Baru

Bedah Buku Jejak Kritik Dapat Acungan Jempol Kadis Perpusip Banyuwangi

Sign Up For Daily Newsletter

Be keep up! Get the latest breaking news delivered straight to your inbox.
[mc4wp_form]
By signing up, you agree to our Terms of Use and acknowledge the data practices in our Privacy Policy. You may unsubscribe at any time.
Share This Article
Facebook Twitter Whatsapp Whatsapp Copy Link Print
Previous Article Gandeng Influencer dan Pegiat Medsos, Banyuwangi Promosikan Wisata dan Budaya Lewat AMTOMA
Next Article Sarasehan Seni dan Workshop Wayang Kardus, Menggugah Kesadaran Lingkungan
Leave a comment Leave a comment

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


- Advertisement -
Ad image

Latest News

Launching Buku Lamunan Seorang Wartawan: Ungkap Pergulatan Batin di Balik Dunia Jurnalistik
Berita 17/10/2025
Workshop Perempuan Bersama Marifatul Kamila Ajak Masyarakat Peduli Kasus Kekerasan
Berita 17/10/2025
Polres Malang Masuk Lima Besar Kompolnas Award 2025, Bukti Komitmen Layanan Profesional
Berita 17/10/2025
Gudang Bekas Kamar Mandi SMAN 1 Rogojampi Terbakar, Diduga Korsleting Listrik
Peristiwa 17/10/2025
  • Lifestyle
  • Esai
  • Religi
  • Seni/Budaya
  • Features
  • Sosial
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Opini
© 2024 - Aktual Line

Redaksi| PT. Media Aktual Line | www.aktualline.com

Halo

Masuk di akun anda

Lost your password?