
Oleh : Taufiq Wr. Hidayat *
“Saya menemukan sebentuk ketaklaziman pada judul film ini. “Rindu yang Bertepi” tak lazim dalam bahasa Indonesia. Sebentuk kekeliruan. Dan itu bisa dimaklumi. Bukankah ini karya awal yang akan terus dilakukan perbaikan, jika sebuah karya tak hanya dijadikan pijakan eksistensi atau sekadar keperluan material belaka.”
Dalam film garapan Tsani, berjudul “Rindu yang Bertepi”, saya melihat peran Yon’s DD sebagai seorang bapak tua dalam film itu, yang totalitas. Konon, film ini digarap dengan super cepat. Dan itu mengherankan. Keheranan itu menjadi wajar, ketika kita menonton film tersebut
Saya tidak akan membahas film “Rindu yang Bertepi” itu utuh. Sebab saya tak punya data lengkap perihal film tersebut, juga waktu. Saya hanya sempat menonton cuplikan film yang menampilkan adegan yang diperankan Yon’s DD, saat ia menjalani sakit keras, berbaring di atas ranjang, renta, dan tak berdaya. Totalitas peran Yon’s DD, agaknya tak dimiliki nyaris semua pemeran dalam film itu.
Yon’s DD bukan sosok biasa. Ia seniman agung Banyuwangi. Sosoknya dikenal luas di Banyuwangi sebagai seorang musisi dan pencipta lagu-lagu Banyuwangenan, mashur melalui lagu “Suoro” atau “Layangan”. Ia pemain teater ulung. Sehingga perannya dalam sejumlah film, punya ciri khas dan totalitas. Totalitas itu misalnya, dapat saya lihat saat ia berperan dalam film “Lintrik” yang diproduksi PT Prama Gatra Jakarta bersama Tim Janakim Banyuwangi. Yon’s DD mengalami semacam trance. Totalitas Yon’s DD mendalami peran, dapat menarik segmen. Secara komersial, Yon’s DD punya “penganutnya” sendiri. Sayangnya, dalam film “Rindu yang Bertepi”, wajahnya tak tampil pada poster film. Padahal orang perlu tahu, siapa sosok populer yang berperan dalam film tersebut, sehingga memperluas segmen penonton. Tapi itu masalah lain.
Artinya — setiap kerja kolektif, dalam hal ini film, meniscayakan penggabungan sebanyak-banyaknya potensi. Kerja inklusif — bahkan mungkin kerja kemanusiaan, yang ditegakkan di tengah laju kehidupan. Ada kerja-kerja yang dibagi. Juga dalam peluncurannya, tayangan sebuah film memerlukan sinergitas dan sambutan nyata banyak komunitas untuk merayakan kelahiran. Ia diperbincangkan dari segala sudut pandang. Ini kalau kita melihat film sebagai ilmu dan karya seni yang perlu dirayakan, diperbincangkan, ditransformasikan, juga termasuk dalam strategi kebudayaan. Bukan kerja perorangan yang bersandar pada selera satu dua orang belaka, atau hanya keuntungan oknum dengan mengabaikan kualitas. Dan itu pembahasan lain.
Menariknya, film “Rindu yang Bertepi” yang diproduksi PT. Chandra Abhipraya , sebuah rumah produksi lokal di Banyuwangi itu, menampilkan tempat-tempat wisata eksotik di Banyuwangi. Tempat-tempat wisata yang menakjubkan dengan hidangan alam dan kulturnya. Di samping itu, film ini digarap oleh sineas dan anak-anak muda Banyuwangi yang tinggal di Banyuwangi. Kita takjub, Banyuwangi ternyata punya potensi kreatif melimpah anak-anak muda dalam film ini. Dan karya anak daerah ini, mengawali kerja-kerja kreatif selanjutnya di Banyuwangi, tentu dengan perbaikan-perbaikan yang berproses pada kualitas, menggali kekuatan kreatif orang-orang muda, dan edukasi. Tapi perlu diingat pula, dalam produksi film, biaya yang dikeluarkan tidak akan sedikit. Dan untuk itu, orang tak bisa mengandalkan uang pribadi. Supaya kerja kreatif menjadi kerja bersama, bukan selera donatur. Sehingga menggerakkan potensi manusia secara wajar dan berproses. Itu pembahasan lain.
Film — dalam kehidupan, setidaknya, dipercaya memengaruhi sudut pandang dan cara berpikir khalayak. Para pemeran film, pada suatu tempo, menjadi tokoh nyata yang dipanuti. Misalnya Jack Torens dalam “The Shining” (1980) atau Datuk Maringgih dalam perfilman nasional. Sering doktrin politik, mitos, sejarah, agama, citra atau pengalaman pribadi dibuat dalam film. Kekuasaan pun punya kepentingan pada film, kita ingat film-film seperti “G 30 S/PKI”, “Janur Kuning”, atau film-film Stanley Kubrick, dan lainnya. Bunga rampai filsafat film selalu menjadi fokus menarik. Filsafat film itu berkelindan pada tulisan Jacques Rancière dan Slavoj Žižek hari ini. Konsep filsafat film nyaris berbarengan dengan wacana khalayak perihal film. Umpama Stanley Cavell dalam “The World Viewed: Reflections on the Ontology of Film” (1971) menjadi mukadimah penting pada daya tarik filsafat dan wacana perfilman. Pada 1988, Noel Carroll menulis kritik terhadap teori film kontemporer yang terlampau Marxis Psiko-Semiotik dalam “Mystifying Movies”. Juga “Philosophical Problems of Classical Film Theory”.
Saya menemukan sebentuk ketaklaziman pada judul film ini. “Rindu yang Bertepi” tak lazim dalam bahasa Indonesia. Sebentuk kekeliruan. Dan itu bisa dimaklumi. Bukankah ini karya awal yang akan terus dilakukan perbaikan, jika sebuah karya tak hanya dijadikan pijakan eksistensi atau sekadar keperluan material belaka. Judul “Rindu yang Bertepi” dilihat pada sudut pandang Bahasa Indonesia, adalah sebentuk “mistake”, yakni ketidakmampuan pembelajar dalam menggunakan bahasa. Meski hal itu dapat diperbaiki. Kenapa rindu harus bertepi?
Dalam lagu ciptaan Fatrah Abal, “Gelang Alit”, cinta itu tak ada tepinya. Tapi lautan punya tepian. “Segoro yo ono pesisire/Sun welas nono watese” (Laut ada pesisirnya/Cintaku tak ada batasnya). Tubuh dapat berpisah, lalu mengenang lautan rindu untuk bertemu. Ketika tubuh bertemu karena rindu, apakah rindu itu hilang atau terbayar? Tentu tidak sedangkal itu pengertiannya. Jika rindu kering dalam perjumpaan, buat apa pertemuan bersusah-payah bahkan berdarah-darah diselenggarakan? Rindu kekal sebagaimana disebut dalam diksi-diksi. Rindu itu tidak bertepi, ia yang spiritual, yang tak dibatasi ruang dan waktu. Tapi tubuh dan peristiwa, selalu terbatasi ruang dan waktu, seperti film. Dan begitulah hidup.
Manusia tak pernah selesai merindukan yang telah hilang di dalam waktu. Ia selalu ingin menyelenggarakan pertemuan untuk melepaskan kerinduan yang tak berhingga, kata seorang penyair entah siapa. Tetapi buat apa pertemuan jika hanya akan menghapuskan rindu? Bukankah rindu harus selalu ada, agar manusia menemukan dirinya di dalam kehilangan, di dalam harapan-harapan, di tengah ketakberdayaan mengutuhkan segala yang telah lampau dan berlalu? Ia hidup dengan ingatan. Tanpa ingatan, mungkinkah sejarah terjadi? Dan pertemuan — sedalam dan semanis apa pun, tak akan pernah membatalkan kerinduan yang kekal. Hakikat kerinduan adalah ketidak-bertepian.
Barangkali bagi Beckett, manusia belaka absurditas muskil yang tak terpecahkan. Suatu hari, orang datang. Kemudian pergi lagi. Pertemuan-pertemuan terjadi. Lalu diakhiri perpisahan. Kadang dirusak oleh pengkhianatan atau perselingkuhan yang ditutup-tutupi dengan segala dalil pembenaran. Dan hati pun terluka. Kenapa harus bertemu, jika harus berpisah? Tanya lagu. Dunia kehilangan kesetiaan dan persahabatan yang baik, yang tak dipisahkan oleh keadaan hidup dan label sosial manusia. Orang pun heran. Atau tak tahu. Kenapa ada yang selalu saja datang dengan persoalan? Dunia tak kunjung surut dengan persoalan. Soal rumah tangga, soal gas atau ban bocor, soal negara. Soal seks. Perbuatan serong yang coba dilupakan. Dan perang.
“Lalu buat apa Kau ciptakan semua ini, jika semua ini harus rusak, hilang, saling tikam, dan penuh derita sangat pedih dan kematian-kematian yang tak terhindarkan?” tanya seseorang dalam sebuah novel kepada Tuhan. Sedang rindu selalu tak pernah selesai.
Dari langit tinggi, Tuhan menjawab cuek sambil berlalu: “itu bukan urusan-Ku!”
* Penulis merupakan seorang Budayawan