
Oleh : Hari Purnomo, M.E.*
Pelukis-pelukis yang jijik memihak pada kebenaran, takut memihak orang sengsara, secara mental dia bukan seniman dan tidak mungkin bisa bicara tentang kemanusiaan. Dia hanya pelukis. Dia hanya alat mati, dia tidak turut membuat rencana atau decision, dia cuma tool – S. Sudjojono.
S. Sudjojono adalah salah satu tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah seni lukis Indonesia. Sebagai pelukis, pemikir, dan penulis, Sudjojono tidak hanya dikenal melalui karya-karya visualnya tetapi juga melalui pemikiran-pemikiran kritisnya tentang seni lukis Indonesia. Dalam tulisan makalahnya yang dimuat di majalah SANI tahun 1985 – berjudul Seni Rupa yang Menjawab Tantangan Masa Kini, ia memberikan sorotan tajam terhadap perkembangan seni lukis di tanah air, khususnya pada masa kolonial dan awal kemerdekaan. Sudjojono melihat seni lukis sebagai seni yang tidak hanya memiliki fungsi estetis, tetapi juga memiliki tanggung jawab sosial dan kebudayaan. Ia berusaha mengangkat martabat seni lukis Indonesia ke tingkat yang lebih tinggi, sejajar dengan tradisi seni rupa di dunia internasional, namun tetap berakar pada nilai-nilai lokal.
Sudjojono dengan tegas membantah pendapat yang meragukan keberadaan seni lukis Indonesia. Beliau mengemukakan bukti historis bahwa seni lukis Indonesia telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Latar belakang pemikiran Sudjojono tidak terlepas dari pengaruh zaman. Pada masa kolonial, seni lukis di Indonesia banyak dipengaruhi oleh seni lukis Barat, yang pada saat itu dianggap sebagai standar universal. Sudjojono mengkritik keras kecenderungan ini, yang menurutnya menjadikan seni lukis Indonesia kehilangan jati diri. Sejak awal PERSAGI didirikan pada tahun 1937, Ia sudah dengan lantang menyerukan anti Mooi Indie. Ia menyebut gaya melukis yang demikian dengan meniru Barat adalah Mooi Indie, sebuah istilah sindiran yang merujuk pada lukisan-lukisan yang menggambarkan keindahan alam semata tanpa menyentuh realitas sosial yang sebenarnya. Bagi Sudjojono, seni lukis haruslah mencerminkan kehidupan nyata dengan segala kompleksitas dan perjuangannya.
Pengaruh Barat dalam seni lukis Indonesia pada masa itu sangat kuat, baik dalam hal teknik maupun tema. Seniman-seniman Indonesia banyak yang terpengaruh oleh aliran seni Barat, seperti impresionisme dan ekspresionisme. Sudjojono menyadari bahwa meskipun pengaruh ini memberikan banyak pelajaran, tetapi seniman Indonesia tidak boleh kehilangan esensi budaya dan identitas mereka sendiri. Ia berpendapat bahwa pengaruh Barat seharusnya diadopsi dengan bijak, sehingga menjadi alat untuk memperkaya seni lukis Indonesia, bukan untuk membunuh keunikan yang sudah ada.
Pernyataan Sudjojono yang menyebut Leonardo da Vinci sebagai anggota bawah tanah gerakan kemerdekaan Italia mencerminkan pemahamannya tentang peran besar yang dimainkan oleh Da Vinci. Walaupun Da Vinci tidak terlibat dalam pergerakan politik atas kemerdekaan Italia yang baru terjadi beberapa abad setelah masa hidupnya, Sudjojono mungkin menggunakan istilah anggota bawah tanah untuk menggambarkan perlawanan intelektual yang dilakukan Da Vinci terhadap kekuasaan, kebekuan budaya dan dogma pada zamannya. Ia seorang pejuang yang memperjuangkan kebebasan berpikir, meskipun tidak secara langsung terlibat dalam gerakan kemerdekaan Italia.
Pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, masa ketika Da Vinci hidup, Italia adalah sebuah negara yang terpecah-belah menjadi negara-negara kota yang diperintah oleh berbagai keluarga besar dan kekuatan asing seperti Spanyol dan Prancis. Meskipun berada di bawah dominasi kekuasaan, Da Vinci tetap mempertahankan kebebasan intelektual nya yang luar biasa. Melalui karya-karyanya dan penemuan-penemuannya, Da Vinci memimpin revolusi pemikiran yang menentang dogma agama dan otoritas politik yang dominan pada masa itu.
Leonardo da Vinci adalah contoh dari seorang gerilyawan intelektual yang berperang dengan cara yang berbeda. Ia tidak menggunakan senjata untuk melawan kekuasaan, ia menggunakan pengetahuan dan seni sebagai alat untuk memperjuangkan kebenaran dan kebebasan. Seperti lukisan Mona Lisa dan The Last Supper, tidak hanya dianggap sebagai karya seni yang memukau tetapi juga sebagai karya yang mengandung pesan-pesan tersembunyi tentang kondisi manusia, moralitas dan hubungan antara manusia dan alam semesta. Melalui karyanya, Da Vinci menampilkan realitas kehidupan dalam bentuk yang lebih substantif, menggugah pikiran dan membuka cakrawala baru.
Sudjojono mungkin melihat perlawanan Da Vinci terhadap norma-norma sosial dan intelektual pada masa itu sebagai bentuk gerakan bawah tanah yang sebanding dengan perlawanan terhadap penjajahan dan penindasan yang terjadi di masa depan, termasuk pergerakan mewujudkan kemerdekaan Italia pada abad ke-19. Walaupun Da Vinci tidak terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan, kontribusinya terhadap kebebasan berpikir dalam seni dan ilmu pengetahuan memberikan dasar intelektual bagi generasi-generasi berikutnya untuk memikirkan kembali struktur sosial dan politik mereka.
Sudjojono menekankan bahwa seni lukis adalah bagian integral dari identitas bangsa Indonesia. Seniman harus berani memperjuangkan kebenaran yang ada dalam dirinya, meskipun kebenaran itu mungkin tidak populer atau bertentangan dengan arus utama. Ini adalah sikap keberanian yang dimaksud oleh Sudjojono—berani menjadi jantan, berani berdiri tegak meskipun dihadapkan pada tantangan dan perlawanan. Seni yang lahir dari semangat seperti ini memiliki daya tarik yang jauh lebih besar karena ia bukan hanya sekadar karya visual tetapi juga sebuah pernyataan moral, sosial, dan politik.
Kepribadian dalam seni lukis itu penting menurut Sudjojono. Ia percaya bahwa seorang seniman harus memiliki jiwa ketok, yang membuat karyanya berbicara tentang dirinya sendiri dan lingkungannya atau posisi keduanya. Dalam konteks seni lukis Indonesia, kepribadian ini harus mencerminkan kebudayaan lokal, tradisi, dan nilai-nilai yang melekat pada masyarakat Indonesia. Menurutnya, seni lukis Indonesia adalah seni yang mampu menggambarkan jiwa bangsa, bukan sekadar tiruan dari seni rupa Barat.
Dalam tulisannya tersebut, Sudjojono mampu menghubungkan ide-ide filosofis dengan realitas sosial dan budaya di Indonesia. Misalnya, ketika ia membahas tentang pengaruh Barat terhadap seni lukis Indonesia, ia mengaitkannya dengan pengalaman pribadi dan pengamatannya sebagai pelukis. Pemikiran-pemikirannya menunjukkan bahwa ia sangat progresif dalam menanggapi isu-isu kontemporer. Ia menentang norma pada umumnya dan mengajak para pelukis untuk berpikir kritis mengenai posisi seni dan seniman didalam masyarakat. Melalui tulisannya, ia menciptakan ruang dialog antara tradisi dan modernitas.
Sebagai seorang pemikir, Sudjojono tidak hanya mengkritik, tetapi juga memberikan solusi dan arahan. Ia mendorong para pelukis muda untuk menggali inspirasi dari kehidupan sehari-hari, dari masyarakat dan dari pengalaman mereka sendiri. Ia ingin seni lukis Indonesia menjadi medium yang hidup, dinamis dan relevan dengan zaman. Pandangannya ini tidak hanya bersifat teoretis, namun ia wujudkan dalam karya-karya lukisnya yang sering kali menggambarkan potret kehidupan rakyat kecil, perjuangan dan semangat nasionalisme.
Tulisan Sudjojono dalam makalah tersebut menunjukkan relevansi yang kuat dengan kondisi seni rupa Indonesia pada masa itu, terutama dalam konteks pencarian identitas seni rupa yang otentik bebas dari pengaruh kolonial. Sudjojono menyoroti pentingnya seni sebagai alat ekspresi yang jujur terhadap kehidupan masyarakat Indonesia, bukan sekadar tiruan dari tradisi yang sudah mapan seperti Mooi Indie. Ada yang menarik dari pernyataan Sudjojono, yaitu : Pelukis-pelukis yang jijik memihak pada kebenaran, takut memihak orang sengsara, secara mental dia bukan seniman dan tidak mungkin bisa bicara tentang kemanusiaan. Dia hanya pelukis. Dia hanya alat mati, dia tidak turut membuat rencana atau decision, dia cuma tool. Rasa-rasanya pernyataan tersebut juga pantas berlaku bagi penyair, pemusik, pematung dan pegiat seni yang lain.
Jika seorang pelukis enggan atau takut untuk menghadirkan kebenaran, terutama yang berkaitan dengan ketidakadilan, maka ia tidak lebih dari sekadar pembuat gambar yang tidak memiliki nilai sosial atau intelektual. Bagi Sudjojono, seorang seniman sejati harus memiliki keterlibatan bergumul dengan realitas sosial dan politik di sekitarnya. Seorang seniman bukan hanya menciptakan karya demi untuk memenuhi selera pasar, tetapi harus juga mampu menyuarakan penderitaan dan perlawanan terhadap ketidakadilan. Karya seni yang benar-benar hidup adalah karya yang mampu menghadirkan suara bagi mereka yang tertindas dan terpinggirkan. Dalam pandangannya, jika seorang pelukis enggan untuk menyuarakan hal tersebut, maka dia telah menjadikan dirinya sebagai alat mati, sebuah tool yang tidak memiliki inisiatif atau pemikiran yang independen. Bagi Sudjojono, seni adalah bentuk perlawanan.
Sudjojono juga tampak kritis terhadap seni lukis abstrak, yang ia anggap tidak memiliki makna materiil. Perspektif ini bisa dianggap kurang adil, karena seni lukis abstrak juga memiliki nilai tersendiri dalam mengungkapkan emosi dan gagasan yang tidak selalu eksplisit. Sudjojono tampak kurang memberikan ruang bagi pengaruh global dalam seni rupa nasional. Pandangan Sudjojono yang seperti itu mungkin menjadi tidak relevan suatu saat dan berpotensi membatasi eksplorasi seniman Indonesia untuk berkembang di kancah internasional.
Sudjojono melihat seni lukis abstrak sesuatu yang kurang membumi. Sebaliknya, Anna Chave dalam artikelnya yang berjudul Abstraction and Its Influence on Global Art Movements menyoroti bahwa abstraksi justru memberikan kebebasan yang melampaui batasan geografis dan budaya. Sudjojono memandang seni abstrak sebagai kebosanan Barat yang muncul dari kejenuhan masyarakat modern terhadap materi. Meskipun seni lukis abstrak mungkin dianggap demikian oleh Sudjojono, gagasan Chave menunjukkan bahwa abstraksi memiliki potensi untuk melampaui batasan lokal dan menjadi bagian dari dialog global. Tentunya, pemahaman seni yang lebih inklusif dapat menjembatani kedua pandangan ini.
Tulisan S. Sudjojono tersebut memiliki signifikansi yang besar dalam sejarah seni rupa Indonesia. Ia tidak hanya menjadi saksi mata, tetapi juga aktor dalam transformasi seni lukis Indonesia yang berakar pada kebudayaan bangsa. Ia menekankan pentingnya kritik sosial dalam seni lukis. Dengan keberaniannya untuk melawan arus dominasi Barat dan keberpihakannya pada seni yang otentik dan jujur, Sudjojono memberikan warisan intelektual yang hingga kini masih relevan dan layak untuk terus dikaji. Penting disadari bahwa warisan pemikiran Sudjojono menjadi pijakan penting bagi seniman Indonesia saat ini.
Sampailah kita di penghujung, mari resapi closing statement Sudjojono : Saudara-saudara boleh pilih ! Saudara seniman dalam arti kata yang sebenarnya atau cuma pelukis musiman. Sunday painters. Terima kasih !
* Penulis merupakan Dosen dan Pengamat Budaya