Oleh: Moh. Husen*
Suatu hari seorang kepala desa saya “provokasi” untuk iseng-iseng menulis seputar pengalaman ia menjadi pemimpin di tingkat desa. Bagaimana cara dia menyapa dan berkomunikasi dengan berbagai latar belakang warganya yang berbeda-beda, dan seterusnya. Hal ini tentu berguna untuk dipelajari.
Usai berkata demikian, dalam hati saya agak menyesal dan merasa ada semacam keangkuhan dalam diri: mentang-mentang saya berani iseng-iseng menulis, lantas membayangkan kades menulis, dosen menulis, guru menulis, para orang pandai menulis, pokoknya semua menulis, menulis, dan menulis.
Padahal saya sendiri sering jengkel kalau ada orang “menceramahi” saya bahwa saya harus seperti dia: sukses, naik haji, kaya raya, punya mobil, rumah, nafkah anak istri lancar, dan seterusnya. Termasuk dalam hal menulis: aslinya diam-diam saya paling malas untuk diatur-atur. Bahasa kerbau mengkritik pemerintah, berbeda dengan bahasa burung.
Dan sebagai kerbau, tak mungkin saya bilang: “Ngapain harus bersusah-susah berebut jadi ketua organisasi. Mbok ya bikin organisasi sendiri. Sudah nggak jaman mengkritik atau memperbaiki sebuah perkumpulan. Jangan buang waktu untuk mengubah sesuatu yang nggak bisa diubah. Maka, bikin kelompok sendiri saja dan buktikan kelompok baru ini lebih baik. Ini era serba bisa.”
Saya menulis ini sembari menunggu teman saya: Joko Muhammadiyah. Saya sebut Muhammadiyah karena ketika pertama kali saya ke rumahnya, saya lirik ada tumpukan buku Muhammadiyah di bawah meja tamunya. Andai saat itu ada majalah Liberty, Penthouse, Playboy atau “koran kuning” yang populer di era tahun 80-90an, mungkin bisa lain lagi ceritanya.
Dia termasuk “korban” ucapan saya bahwa menulis itu mudah, meskipun ia belum berani mencantumkan nama aslinya ketika menulis. Judul tulisannya keren-keren: Menciptakan Demokrasi yang Sehat, Standar Keselamatan Publik, Krisis Lingkungan, Muhasabah di Jumat Duka, Antara Seremonial dan Kontrak Iman, Pergeseran Makna Kode “86”. Wah, pokoknya jos dia.
Anda jangan tertawa. Jangan dipikir melalui tulisan ini saya sedang memotivasi secara halus agar Anda bergairah dan semangat menulis. Meskipun saya sangat berhutang budi kepada siapa saja yang bersedia menulis meskipun pendek di medsos: jangan beli di sini, di sana hujan, ada cegatan polisi, hati-hati dengan orang ini, pajak naik, DPR mana suaranya, atau jare Man Janotok ojok lali moco sholawat.
Dan tatkala saya sodori tulisan ini sebelum tayang, Pak Joko yang saya tulis ini berbisik agar untuk kali ini namanya ditulis lengkap dan asli. “Nanti saya traktir mie ayam,” katanya sembari tertawa. (*)
Banyuwangi, 15 Januari 2025
*Penulis buku Jejak Kritik (2024). Tinggal di Banyuwangi, Jawa Timur