Oleh: Moh. Husen*
Sekitar jam 10 malam sahabat saya Veri Kurniawan yang kini sedang ambil S-2 Hukum di Unej Jember, mengajak menepi mencari warung di tepi jalan sembari berdiskusi tipis-tipis. Saya pesan Capcay dan teh hangat.
Teman-teman sering meyakini, bahkan terkadang jam 2 dini hari ada yang langsung telpon dan yakin di jam segitu saya masih “hidup” untuk kemudian diseret begadang sampai Subuh.
Sembari ngobrol dengan Mas Veri malam itu, spontan ingatan saya terbang ke Yogya di mana dulu pada jam-jam malam seperti itu, menurut para penulis yang saya jumpai di internet, beberapa aktivis seperti Eros Djarot, Emha Ainun Nadjib, Arief Afandi, dan lain-lain, sering ngobrol di emperan Malioboro.
Biasanya Emha usai mengetik Kolom untuk Jawa Pos lalu ngobrol di situ. Tentu tidak mungkin obrolan kami yang “remeh-temeh” ini disandingkan dengan obrolan mereka.
Namun, ah, sangat bisa ditebak. Sangat bisa ditebak: yang membuat saya ingat Yogya karena saya sedang kangen Cak Nun. Dan memang iya. Kangen berat.
Sembari makan, ngobrol, saya lihat story WhatsApp. Mas Veri pasang foto saya makan Capcay, dikasih caption: Bergeser diskusinya bersama Cak Husen, penulis buku produktif.
Wah, ini berat.
Disebut penulis membuat saya pada kesempatan yang lain ditabrak pertanyaan: “Penulis itu yang penting nulis terus, atau hanya punya satu buku lalu nggak nulis lagi sampai kiamat?”
Untunglah pertanyaan tersebut hanya meluncur di warung kopi. Saya jadi bebas melawak dan guyon. Saya coba berbelok bahwa andai pertanyaan itu tidak dijawab, sudah membukakan pintu ilmu bagi masing-masing orang yang mendengar pertanyaan itu.
Lalu bagai narasumber saya mengatakan: “Penulis itu yang terpenting adalah terus menulis dan menulis, bukan menerbitkan buku. Meskipun buku saya sudah lima, ber-ISBN semua, tapi bobot tulisan saya bisa kalah jauh dengan para penulis yang karyanya tidak pernah diterbitkan.”
Maka, bukalah Mbah Google, ketik Opini Veri Kurniawan Banyuwangi. Kita akan berkenalan dengan ide dan gagasan yang ditulisnya di media online. Siapa saja boleh setuju dan tidak setuju dengan yang ia tulis.
Dia bertanggung jawab terhadap apa yang ia tulis dengan mencantumkan full name di setiap tulisannya: Veri Kurniawan. Bagi pembaca yang kebetulan penasaran, silakan menyapa Instagramnya yang bernama: veri.biru531
Kalau Veri bertanggung jawab dengan tulisannya, saya malah egois di setiap menulis. Saya berharap pembaca merenungi nama atau kata yang saya selipkan atau saya munculkan, tanpa saya jelaskan panjang lebar.
Misalnya: Emha, Yogya, Arief Afandi. Atau 99 persen saya bercerita ngalor-ngidul, 1 persen saya munculkan kata delayed gratification agar direnungi dan dicari. Padahal nyata-nyata di depan mata ada kemiskinan, orang belum tentu gelisah dan peduli.
Sekarang saya munculkan nama Veri, justru agar saya ditertawakan: “Berita kejahatan dan kekejaman yang bermunculan di banyak media saja sering diabaikan orang, apalagi Veri Biru. Hari gini, orang hanya peduli dengan uang, uang, dan uang, hahahahaha….” (***)
Banyuwangi, 24 Januari 2025
*Penulis buku Jejak Kritik (2024). Tinggal di Banyuwangi, Jawa Timur.