Oleh: Moh. Husen*
Yang spontan saya ingat di Hari Pers Nasional 2025 ini adalah podcast Dahlan Iskan bersama Wisnu Nugroho di kanal YouTube Kompas.com. Saya cari lagi dan ketemu. Judulnya: Dahlan Iskan Kehilangan Jawa Pos dan Sakit Hati Pemberi Energi.
Singkatnya cerita, di podcast tersebut, Si Intelektual Pers Dahlan Iskan ini ditanya Wisnu Nugroho mengenai awal mula berjumpa dengan Jawa Pos hingga membesarkan Jawa Pos di Jawa Timur.
Bermula ketika Dahlan Iskan yang saat itu menjadi wartawan Tempo lantas ditugaskan meliput di area Jawa Timur. Tatkala membaca koran harian Jatim, salah satunya, Jawa Pos, ia selalu kesal dan marah. Dia jengkelnya minta ampun setiap kali membacanya.
“Media kok gitu ???”
Semacam-semacam itulah Dahlan Iskan mengumpat, merasa jengkel setiap membaca Jawa Pos saat itu. Hingga akhirnya nasib justru membawa dirinya menjadi pimpinan di Jawa Pos yang sebelumnya sering ia keluhkan itu.
Kalau boleh belok dan berkelakar sedikit: kalau ingin jadi DPR, silakan mengecam habis perilaku busuk para oknum wakil rakyat yang berada di parlemen. Siapa tahu, nasib membawa kita justru bertemu dengan hal-hal yang semula sering kita kecam, yakni menjadi DPR.
Maka, Dahlan Iskan berkewajiban membawa Jawa Pos menjadi koran nomor satu. Dan terbukti, dia berhasil menghidupkan kembali Jawa Pos hingga jadi media mentereng seperti sekarang. Meskipun dulu saat SMA, saya sering beli hanya tiap hari Rabu dan Minggu.
Nah, diam-diam saya pun berharap yang sama. Siapa tahu, ada orang yang membaca tulisan saya, entah di media online, media cetak atau yang sudah diterbitkan menjadi buku, lantas jengkel dan marah: “Mestinya nulis itu begini, begini, dan begini. Bukan tulisan kayak sampah begini ini !!!”
Jika ada orang seperti itu, yang membuat dia punya ide lebih cemerlang dalam menulis gara-gara membaca tulisan saya yang dianggapnya menjengkelkan, rasanya kita semua patut bersyukur dan senang.
Karena dengan lahirnya tulisan yang cemerlang darinya, pemikiran kita semakin cemerlang pula setiap kali membaca tulisannya. Meskipun sekarang ini kalau ada tulisan bagus, orang malah ragu: ini karya artificial intelligence alias AI atau karya sendiri?
Dan sekadar tahu, saya iseng-iseng bertanya kepada AI: “Siapa saja yang bisa disebut intelektual pers?”
“Tokoh seperti Dahlan Iskan, Emha Ainun Nadjib, atau Goenawan Mohamad bisa dikategorikan sebagai intelektual pers, karena tulisan mereka bukan hanya jurnalistik, tetapi juga menawarkan wawasan dan refleksi yang dalam,” jawab AI.
Selamat Hari Pers Nasional. (***)
Banyuwangi, 9 Februari 2025
*Penulis buku Jejak Kritik (2024). Tinggal di Banyuwangi, Jawa Timur.