Oleh: Moh. Husen*
Sejak awal Januari 2022, saya bersyukur kepada Allah bahwa saya dicampakkan di tiga desa yang berada dalam satu kecamatan tempat tinggal saya. Dicampakkan itu bahasanya seniman atau penyair. Ia bahasa sastra. Kalau bahasa resmi profesionalnya adalah ditugaskan.
Saya suka menulis sejak SMA, tatkala pertama kali saya baca buku karya seorang budayawan dan sastrawan nasional, dan saya langsung kagum dengan Cak Budayawan yang namanya saya rahasiakan, daripada saya di-bully: “Mengkultuskan nih ye…hehehe…”
Dampak dari kekaguman saya dengan seorang budayawan atau sastrawan, tentu berbeda jika seandainya saya saat itu kagum dengan seorang profesor doktor. Jadinya saya lebih suka menulis secara bebas, spontan, dan tak terlalu terikat oleh tradisi penulisan ilmiah.
Saya menulis sekenanya saja. Saya berharap Tuhan ikut campur, menolong kenekatan saya dalam menulis hingga saya menemukan huruf demi huruf berikutnya, sebagaimana sebuah rejeki yang terkadang begitu absurd, gelap, dan tidak jelas, namun bismillah selalu ada saja.
Saya menulis hanya berharap semoga ada manfaatnya bagi orang lain. Tidak nambahi perkara yang membuat orang saling bertengkar, bermusuhan, menyulut hasut dan dengki, serta berbagai kebodohan dan keangkuhan yang dianggap sebagai kebenaran tanpa landasan ilmu dan pengetahuan.
Demikian pula tatkala saya pertama kali masuk ke tiga desa tempat saya bertugas. Sebagai Pendamping Lokal Desa, banyak hal, terutama secara kultural, yang saya harus berguru kepada desa. Dan menurut Cak Budayawan yang saya kagumi itu: desa lebih tua dari Indonesia. Maka, tak ada kata lain, kecuali saya harus berendah hati, uluk salam, dan tidak menggurui.
Tulisan awal ini semacam prolog saja. Untuk selanjutnya saya masih harus menunggu wangsit untuk menuliskan tiga desa tersebut secara pelan-pelan dan bertahap. Bahasa jelasnya: bersambung. (***)
Banyuwangi, 6 Mei 2025
Catatan kultural Pendamping Lokal Desa. Tinggal di Banyuwangi, Jawa Timur.