Oleh: Moh. Husen*
SEJAK dulu, secara naluriah saya lebih suka membaca tulisan seseorang yang punya pengalaman sebagai wartawan. Dan saat SMA, penulis dengan pengalaman wartawan yang kemudian saya menyukainya adalah Emha Ainun Nadjib, melalui bukunya Markesot Bertutur. Sekumpulan esai Cak Nun yang pernah tayang di Surabaya Post.
Di website CakNun.com, dalam esainya yang berjudul Jurnalisme Kaos Oblong, pada paragraf pertama, Cak Nun menuliskan sebuah pernyataan yang begitu rendah hati: “Di dunia kewartawanan, pada era 1970-1975, saya adalah anak bawang. Dan hari ini saya menjumpai diri saya tiba-tiba sudah setua ini, dan tetap juga anak bawang.”
Hingga saat ini, saya lebih gampang tertarik membaca tulisan siapa saja yang mempunyai basic wartawan. Kesan saya, tulisan mereka enak dibaca, tidak kaku, lugas dan tidak terlalu berbelit-belit. Kalau ada tulisan kok rasanya enak dibaca, terkesan realistis, biasanya segera saya cek namanya di Google: ternyata pernah jadi wartawan.
Pengalaman mereka terjun langsung ke lapangan, keringat, capek, panas hujan, siang malam, mewawancarai berbagai kalangan, menyajikannya dalam bentuk berita yang berimbang atau cover both side merupakan tabungan yang kelak membuat pemikiran dan pemahaman mereka lebih dewasa dan tidak hitam putih dalam menuliskan opininya.
Bila seorang wartawan mulai “meningkat” menjadi penulis opini, biasanya dari pengalaman terjun di lapangan itu: ia akan dengan mudah membaca hatinya orang banyak serta mengerti alur sebuah peristiwa. Ia peka sebaiknya harus mengeluarkan kata apa saja, berapa kali sebaiknya kata tertentu dimunculkan, dan kata apa saja yang mending jangan disebut.
Lantas apakah semua penulis berlatar belakang wartawan otomatis tulisannya enak dibaca dan banyak pengetahuannya? Tentu tidak. Apakah sebaiknya kita menutup diri dari “pergaulan” membaca tulisan orang-orang yang tidak punya pengalaman sebagai wartawan?
Apakah melalui tulisan ini saya sedang menyarankan secara halus agar sebaiknya kita rajin-rajin membaca pemikiran penulis wartawan dan menyepelekan tulisan para guru, dosen, rektor, seniman, budayawan, kiai dan lain-lain yang tak pernah jadi wartawan?
Seribu persen tidak. Semua orang kalau bisa menulis dan tidak harus wartawan. Belakangan ini justru buku yang sering saya baca adalah OCD: Obsessive Corbuzier’s Diet karya Deddy Corbuzier. Itu buku tentang teknik diet yang ditulis oleh mantan pesulap dan mentalis profesional, bukan mantan wartawan.
Hanya saja, penulis wartawan biasanya–sekali lagi biasanya lho ya–agak jeli, memiliki naluri tabayun atau chek and rechek, tidak mudah terseret isu, tidak semua hal mesti dikomentari, serta tidak semua istilah yang tersebar di publik ditelan mentah-mentah begitu saja. Apalagi jika istilah itu dilontarkan oleh pemerintah: radikalisme, intoleran, hingga premanisme.
Semoga istilah-istilah itu tidak untuk melabeli kelompok-kelompok yang memberi nasehat atau kritik yang membangun kepada pemerintah. (***)
Banyuwangi, 22 Mei 2025
*Penulis buku Jejak Kritik. Tinggal di Banyuwangi, Jawa Timur.