Oleh: Moh. Husen*
KETIKA pembukaan acara Jambore Sastra Asia Tenggara (JSAT) 2024 di pendopo Shaba Swagata Blambangan Banyuwangi, 24 Oktober 2024 yang lalu, secara “syariat” saya hadir karena mendapat undangan dari Ketua Dewan Kesenian Blambangan (DKB) Hasan Basri. Namun secara “hakikat” saya datang karena Penyair Bali Wayan Jengki Sunarta juga hadir di sana.
Ia muridnya Umbu Landu Paranggi di Bali. Ia sering ke mana-mana dengan Umbu. Tentu karena saya “jatuh hati” kepada Emha Ainun Nadjib yang juga muridnya Umbu ketika masih di Yogya. Maka, setiap kali bertemu Bli Jengki, saya selalu menarik pembicaraan agar Bli Jengki sedikit bercerita tentang Umbu.
Hingga Umbu meninggal dunia, saya belum satu kali pun berjumpa dengan beliau. Padahal Banyuwangi-Bali tak sejauh Banyuwangi-Jombang. Dan Umbu di usia tuanya saat itu mudah ditemui, yakni saat acara maiyahan Masuisani Bali. Cak Nun dan Gamelan KiaiKanjeng pada tahun 2019 pernah hadir di sana, maiyahan bersama Umbu.
Nah, saat bertemu Bli Jengki di acara JSAT itu, selain sedikit membicarakan Umbu, kami juga sedikit membicarakan sastra. Tapi saya segera geser, dan Bli Jengki segera melanjutkan giliran ia baca puisi.
Sastra dan Dunia Kepenulisan
Di rumah saya, yang paling banyak saya punya adalah bukunya Cak Nun. Dari situ saya mulai berkenalan dengan cerpen, esai dan puisi karya Cak Nun. Termasuk website yang sering saya buka, juga website CakNun.com. Bukan mendewakan, melainkan kondisi dompet: kalau punya uang mending saya pakai beli bukunya Cak Nun, buku yang lain saya pinjam ke teman-teman.
Era digital ini lebih menolong saya untuk membaca tulisan-tulisan lama Cak Nun yang tidak saya punya atau saya belum pernah baca. Seperti, Sastra yang Membebaskan: Sebuah Pengantar; Dari Puisi: Melebur Bingkai Kesenian ke Bingkai Kehidupan; Belajar Manusia Kepada Sastra; Kebun Sastra Yogya, Peradaban Lampahing.
Dari referensi saya yang minim itu, saya melihat bahwa secara umum, sastra memang erat kaitannya dengan seni berbahasa. Ia bisa memperkaya tulisan dengan keindahan dan emosi yang mendalam. Namun, dalam dunia kepenulisan yang lebih luas, terdapat berbagai jenis tulisan, seperti jurnalistik, akademik, teknis, dan bahkan humor atau komedi.
Masing-masing jenis tulisan itu memiliki tujuan dan audiens yang berbeda, sehingga tidak selalu membutuhkan sentuhan sastra dalam penyajiannya. Misalnya, tulisan jurnalistik, akademik dan teknis lebih menekankan pada kejelasan dan keakuratan. Jika unsur sastra terlalu dominan, justru dapat mengaburkan maksud dari tulisan tersebut.
Hal ini saya paparkan untuk “melindungi” betapa minim pengetahuan saya tentang sastra. Meskipun saya tahu, dalam tulisan opini, misalnya, penggunaan metafora dan diksi yang kuat dapat memperkuat argumen dan membuat tulisan lebih menarik. Demikian pula dalam tulisan persuasif atau esai, sentuhan sastra bisa memperkaya pengalaman pembaca.
Tapi, apakah semua jenis tulisan harus mengandung sastra? Tentu tidak. Sastra bukanlah keharusan, tetapi ia bisa menjadi alat yang memperkuat daya tarik tulisan jika digunakan secara tepat. Yang terpenting, setiap tulisan harus tetap mengutamakan keterbacaan dan efektivitas dalam menyampaikan pesan kepada pembacanya.
Refleksi dan Rindu Cak Nun
Lantas, yang paling perlu digarisbawahi adalah, bahwa tulisan ini bukan karya sastra, apalagi ceramah sastra. Hati, pikiran, dan mulut saya yang masih begitu kotor ini benar-benar belum pantas untuk menyentuh-nyentuh dunia sastra. Bikin puisi saja hingga hari ini saya masih belum bisa menjangkaunya.
Bukan berarti saya sedang memperlakukan sastra seperti agama atau kitab suci. Tapi sebagaimana peristiwa sehari-hari: jika tangan kita kotor belepotan lumpur, jangan dulu menyentuh baju pemberian sahabat kita. Meskipun baju itu sekadar kain dan benang belaka.
Dan, last but not least, saya menulis ini hanya karena pada 27 Mei 2025 Cak Nun ulang tahun yang ke-72. Saya kangen beliau. Terbayang betapa padat, capek dan kerja keras beliau sejak muda hingga tua. Dua tahun ke belakang beliau masih aktif menulis esai, bikin naskah teater, hadir di forum-forum Sinau Bareng: Yogya, Jombang, Surabaya, Jakarta.
Eko Tunas penyair dari Tegal yang merupakan sahabat dekat Cak Nun, pernah menulis di CakNun.com: “Saya menyerah, saya berhenti mengikuti tur Cak Nun dan KiaiKanjeng yang bagi saya absurd—mana ada tur musik segila Cak Nun dan KiaiKanjeng, sampai subuh pakai kehujanan segala.”
Kini Cak Nun sedang sakit. Seolah “didekap” Allah hanya untuk keluarganya semata, setelah setengah abad lebih Cak Nun berkeliling Indonesia dan luar negeri, membesarkan hati masyarakat luas, menemani mereka yang bertumbuh, menanam benih-benih kebaikan bagi masa depan bangsa.
Sejak tahun 2007, biasanya saya setahun sekali hadir di acara-acara Cak Nun dan KiaiKanjeng di seputaran Jawa Timur. Terakhir bertemu pada bulan April 2023 di Lumajang. Saat itu acaranya bertajuk “Ngai Ma Dodera Sambang Anak Putu“. Selamat ulang tahun, Cak. Semoga lekas sembuh. I love you. (***)
Banyuwangi, 27 Mei 2025
*Penulis buku Jejak Kritik. Tinggal di Banyuwangi, Jawa Timur.