Oleh: Moh. Husen
SALAH satu anugerah Allah yang patut kita syukuri adalah adanya media sosial beserta adanya orang-orang yang menilai kita hanya berdasarkan tampilan medsos kita. Buruknya medsos yang menonjol terutama bisa bikin akun dengan nama palsu lalu menyebarkan hoax, kebencian dan fitnah.
Tapi bayangkan: orang menjadi “galau” hanya karena suatu hari saya posting sebuah foto di hotel Leedon Surabaya dan menginap di lantai 17. Ditambah lagi berkat ketajaman kamera HP, kaos dan celana yang saya pakai tak tampak bagai orang kampung yang baru saja diam-diam minggat.
Padahal saya ke Surabaya dan menginap di Leedon itu berkat “surat tugas” yang membuat saya bisa masuk, ikut acara, makan minum, tidur di sana. Malamnya keluar hotel, bersama empat orang kawan, kami begadang dan tidak menjumpai cafe murah. Untung ketemu penjual kopi pakai sepeda motor, dan kami terdampar ngopi di tepi jalan.
Untuk ngopi yang di tepi jalan ini sengaja tidak saya share ke medsos. Daripada saya dihina, tidak disapa dan diremehkan orang hanya gara-gara memperjelas level saya adalah kaum yang gagal masuk cafe: mending saya pamer ketika berada di tempat-tempat yang mengesankan saya ini orang berduit, lalu mereka baik-baik dan sopan kepada saya.
Ini tidak guyon serta sama sekali tidak untuk menyindir seolah-olah saya berteriak: “Ngapain rakus dan mencuri uang hingga miliaran dan triliunan rupiah, kalau toh hanya dengan pura-pura macak kaya lewat foto medsos saja, ada saja orang-orang yang sudah sedemikian terkecoh, hormat, dan cium tangan kepada kita secara berlebihan…”
Dan sekarang saya buka: saya menulis ini karena saya penganut “tarekat” menertawakan diri sendiri. Kalau di luar sana orang beraninya menertawakan orang lain, seolah-olah hanya dia yang paling suci dan nomor satu, maka mending gabung dengan saya. Karena menertawakan diri sendiri serta mengkritik diri sendiri, jauh lebih aman daripada menertawakan penguasa.
Tulisan ini memang kurang kompatibel dengan isu-isu kekinian, seperti kasus tambang dan korupsi yang semakin gawat dan menggila. Saya justru pamer Lantai 17 dengan perasaan sedih dan menyesal kenapa sejak dulu saya tidak punya referensi memprotes keras pemerintah, sehingga sekarang punya alasan untuk diam.
“Dulu saya ikut demo jaman reformasi. Sekarang gantian lah yang muda-muda. Sikapi itu tambang, dan lain-lain. Saya sekarang pensiun,” kata seseorang yang mbayari saya ngopi di warkop tahu petis. Mulut ini sudah mau spontan misuh, tapi tidak jadi. (***)
Banyuwangi, 30 Juni 2025
*Penulis buku Jejak Kritik. Tinggal di Banyuwangi, Jawa Timur