Oleh: Moh. Husen*
SIANG itu di warung kopi yang sederhana dan murah meriah, obrolan kami tiba-tiba saja sampai kepada kondisi masyarakat kita yang terlalu gampang bersyukur dan mudah sekali memaafkan. Meskipun tidak bisa dipastikan seratus persen.
Kawan saya ini punya pengalaman nyata mendampingi pihak yang dirugikan sehingga mendapatkan nominal hak yang tidak adil dalam sebuah pembagian hasil jual beli tanah waris yang dibeli oleh sebuah hotel berbintang.
Begitu larutnya kawan saya ini kepada situasi ter-dholomi itu, sampai-sampai ia turut emosi. Namun pihak yang dibelanya dengan raut wajah yang begitu neriman malah mengucapkan: “Ndak pa-pa sudah, Mas. Mungkin rejeki saya memang segini.”
Kawan saya shock. Ia merenungi nasibnya sendiri. Betapa enak nasib yang “mendholimi” uang puluhan juta itu. Sedangkan ia pernah “mendholimi” uang tak sampai 5 juta, lha kok malah dilaporkan ke polisi. Apes, katanya, sembari ketawa.
Seorang anggota ormas bisa dengan gampang menilap uang jatah anggotanya yang lain cukup dengan permakluman mungkin ia sedang butuh. Begitu salah satu anggota menerapkan “ilmu” yang sama: ia langsung dikecam tanpa permakluman apa-apa.
Kita tidak akan pernah tahu nasib kedepan kita. Tuhanlah penguasa mutlak nasib kita. Tugas kita hanya berusaha dan sangka baik. Hari demi hari kita menjalani nasib demi nasib kita masing-masing. Bila hal itu sudah terjadi, maka begitulah nasib kita.
Kata orang, kita tak berkuasa dan pasti tak bisa menghindari ketika nasib mengatakan hari ini kita kalah. Tapi kita dipinjami kekuasaan oleh Tuhan untuk mengambil hikmah, pelajaran dan keputusan setelah kalah kita hari ini.
Kemampuan mengambil hikmah yang baik atas nasib kita, merupakan tabungan kebahagiaan bagi masa depan kita. Mungkin inilah salah satu rahasia pentingnya rasa syukur, bahwa Gusti Allah tak pernah tidur, bahwa hanya Gusti Allah yang Maha Tahu sebaiknya kita pegang uang atau tidak, kita pegang kekuasaan atau tidak. (***)
Banyuwangi, 10 Juli 2025
*Penulis buku Jejak Kritik. Tinggal di Banyuwangi, Jawa Timur.