Oleh: Moh. Husen*
MALAM itu, lupa persisnya kapan, melalui video pendek yang di-share di media sosial: Muncar seperti disulap jadi panggung raksasa. Puluhan truk sound horeg berjejer rapi, lampu-lampu lighting berkedip liar, dan dentuman bass mengguncang dada. Festival Sound Horeg kembali digelar. Para pemilik sound memamerkan kebanggaan, dan warga berkerumun dengan wajah sumringah.
Festival Sound Horeg di Muncar, Banyuwangi ini bukan cuma soal musik, bukan hanya soal suara dan getar. Ia adalah cermin kecil tentang bagaimana manusia ingin hadir, ingin bersuara dan ingin didengar suaranya. Meskipun setelah semua dentum berhenti, truk-truk pulang, dan lampu-lampu padam, yang tersisa hanyalah jalan kosong dan keheningan.
Di balik kebisingan dan keramaian sound horeg itu, diam-diam tersembunyi naluri dasar manusia—terutama wong cilik—untuk tetap “berteriak” di tengah dunia yang kerap tak memberinya ruang. Suara orang-orang kecil sering dianggap gangguan dan bukan bagian dari wacana yang paling penting untuk didengar.
Mereka sedang membikin panggungnya sendiri, seolah memproklamirkan eksistensinya: kami ada, dengarkan kami. Di tengah gelombang digital dan algoritma yang menenggelamkan suara-suara wong cilik, Festival Sound Horeg muncul bagai sebuah terminal persinggahan, tempat semua energi diluapkan, keresahan ditumpahkan, dan identitas dikukuhkan.
Karena sesungguhnya festival apapun–termasuk hakikat hidup ini sendiri–hanya bagai sebuah terminal persinggahan yang membuat kita jangan cuma berhenti dalam ingar bingar yang paling keras, paling populer, paling viral. Kita jangan hanya menetap di satu terminal keramaian, melainkan harus melanjutkan perjalanan menuju terminal puncak—yang lebih tenang, lebih dalam, lebih sejati.
Maka, setelah menumpahkan ingar bingar dentuman itu, meraka seakan nggak peduli: mau dipuji, dikritik, atau bahkan dianggap haram. Yang pasti mereka telah bersuara dengan cara mereka sendiri. Jedag-jedug sound horeg hanya suara fisiknya belaka, namun di balik itu, mereka bisa saja berteriak keras sedang kabur aja dulu. Kabur dari apa? Ya, terserah mereka.
Bukankah kata-kata tidak harus diucapkan dalam bentuk perkataan? Bukankah bermuka masam saja sudah sebuah perkataan yang sangat jelas dan keras? Bukankah tangis bayi merupakan sebuah pernyataan? Bukankah semua makhluk dan benda di seluruh alam semesta ini senantiasa berkata dengan cara mereka masing-masing?
Dan yang terakhir, karena pelaku pecinta sound horeg ini adalah manusia, sebaiknya diajak berdialog terus menerus mengenai baiknya bagaimana agar tidak saling mengganggu dan merusak. Kalau ada dialog dan komunikasi yang baik, saya kira lambat laun kita semua akan menemukan format yang tepat untuk pecinta sound horeg ini.
Yang terakhir ini adalah suara wong cilik. Semoga didengar. (***)
Banyuwangi, 13 Juli 2025
*Penulis buku Jejak Kritik. Tinggal di Banyuwangi, Jawa Timur.