Oleh: Yusrir Ridlo AH (Relawan Forum Anak Banyuwangi)
MEMASUKI bulan Agustus, semarak perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia memenuhi sudut kampung melalui lomba-lomba dan pertunjukan rakyat. Namun, bersamaan dengan kegembiraan itu, volume sampah—terutama plastik sisa makanan dan minuman kemasan—mengundang perhatian. Fenomena ini mencerminkan bukan hanya persoalan kebersihan teknis, tetapi juga kegagalan dalam literasi lingkungan dan pembentukan perilaku sosial yang bertanggung jawab.
Thomas McKeown—dokter dan epidemiolog—menyatakan bahwa turunnya angka kematian akibat penyakit menular pada abad ke-20 terjadi jauh sebelum terbukanya era antibiotik. Itu karena faktor sosial seperti kebersihan lingkungan, kualitas makanan, dan perbaikan kondisi hidup yang lebih berpengaruh daripada penemuan medis modern.
Perbaikan gizi, hunian layak, lingkungan bersih, pendidikan merata, dan distribusi ekonomi yang berkeadilan adalah fondasi bagi kesehatan masyarakat. Tanpa kesadaran kolektif menjaga kebersihan dalam keramaian publik, intervensi sosial sistematis sangat diperlukan. Perayaan kemerdekaan bisa menjadi momentum edukasi publik dengan menjadikan masyarakat—terutama anak muda—sebagai agen perubahan sosial.
Di Indonesia, situasi seperti isu stunting, penyakit menular yang muncul kembali, serta tingginya angka kematian ibu dan anak menuntut solusi lebih dari sekadar fasilitas medis. Intervensi sosial seperti distribusi pangan bergizi, sanitasi dasar, dan akses pendidikan sangat esensial. Sosiologi kesehatan melihat penyakit bukan hanya dari aspek klinis, tapi juga akar sosial yang mendasarinya.
Secara historis, nenek moyang kita hidup sehat dengan memanfaatkan rempah-rempah lokal (jahe, kunyit, kencur, sereh, daun sirih) sebagai gaya hidup dan pengobatan. Mereka membangun sistem kesehatan berbasis kearifan lokal yang kuat dengan prinsip “obat sakitmu ada di sekitarmu.”
Penelitian di Amerika Serikat dan Australia memperkuat temuan ini: penurunan angka kematian terjadi sebelum pengobatan modern tersedia. Faktor sosial seperti hunian berkualitas, akses pangan bergizi, sanitasi layak, dan pendidikan kesehatan lebih berkontribusi daripada teknologi medis semata.
Sebagai sarjana kesehatan masyarakat, pendidikan ini wajib jadi dasar untuk merancang intervensi sosial. Kesehatan masyarakat bukan hanya soal fasilitas medis, tapi juga memperbaiki fondasi sosial.
Contoh intervensi berbasis komunitas saat Agustusan:
Pasar Murah Pangan Sehat: Menjual bahan pangan lokal bergizi dengan harga terjangkau di tingkat RT/RW atau desa.
Lomba Kampung Sehat dan Bersih: Penilaian berdasarkan kebersihan lingkungan, saluran air, dan inovasi sanitasi lokal.
Pojok Edukasi Kesehatan dan Gizi Anak: Anak belajar cuci tangan, sarapan sehat, dan gizi seimbang lewat lomba mewarnai atau kuis.
Kelas Singkat untuk Orang Tua dan Remaja: Edukasi ringan tentang kebersihan rumah, gizi keluarga, dan pengasuhan, oleh bidan desa, kader kesehatan, atau guru.
Simpul Solidaritas Sosial: Posko gotong royong untuk mengidentifikasi warga perlu bantuan (lansia terlantar, anak putus sekolah, penderita kronis), serta memberi bantuan bahan pokok, pendampingan belajar, dan layanan antar jemput ke Puskesmas.
Rangkaian sederhana ini menunjukkan pendekatan sosiologi kesehatan: melihat kesehatan sebagai cerminan kondisi sosial masyarakat, bukan hanya persoalan medis. (*)