Oleh: Moh. Husen*
DI TENGAH laju zaman yang makin hari makin canggih seperti sekarang ini, terkadang saya iseng-iseng berkelakar dengan teman-teman warung kopi mengenai hal-hal yang mungkin sangat pinggiran banget, tidak urgent, dan remeh temeh. Apa itu? Ialah persoalan regenerasi tambal ban di jalanan.
Sungguh sebuah tema yang tak pernah layak masuk ruang diskusi. Karena ruang diskusi hanya menerima tema-tema besar seperti regenerasi calon pemimpin, menyiapkan generasi muda menyongsong masa depan, mengisi kemerdekaan dengan ilmu, sekolah cerdas, serta generasi emas Indonesia 2025.
Kalau regenerasi tambal ban, atau tukang membetulkan genting rumah yang bocor, hanya warung kopi yang siap menampungnya. Di warung kopi itu tema apa saja bisa masuk. Mau ngomongkan malaikat Jibril boleh, debat calon pemimpin monggo, sarjana yang merasa benar, hingga sandal jepit jangan dicuri.
Maka, tatkala tiba-tiba seorang teman mengajak saya ngobrol agak serius tentang regenerasi penulis, serta mulai menyindir-nyindir penulis yang hanya “satu kali” bikin buku namun cara ngomongnya sok menggurui bagai tokoh nasional yang tak bisa dibantah–saya mulai melipir pelan-pelan, menggeser perbincangan agar tak lagi bicara literasi.
Pasalnya jelas: bagi saya menulis itu susahnya bukan main, apalagi hingga terbit buku. Saya sendiri hingga saat ini belum mampu menulis rutin, misalnya seminggu sekali tiap hari Sabtu. Menulis yang jelek dan tidak bermutu sekalipun, tapi kalau harus rutin tiap Sabtu, saya angkat tangan. Kalau menulis berita masih relatif gampang. Tinggal wawancara, tulis ulang, selesai. Tapi menulis yang bukan berita, wah, berat.
So, mending ngomongin tambal ban. Mulai bagaimana kok bisa ada orang yang menekuni pekerjaan tambal ban? Bagaimana ia belajar tambal ban? Bagaimana penghasilannya, apakah mencukupi nafkah keluarga? Bolehkah generasi muda bercita-cita menjadi tambal ban? Dari mana datangnya cita-cita itu? Apakah ada hubungannya dengan takdir Tuhan, bahwa ada yang harus jadi DPR, ada juga yang harus jadi tambal ban?
Bagaimana kalau ada anak muda tambal ban, lalu diajak jadi satpam, tukang kebun atau sopir? Apakah kemudian pekerja tambal ban akan punah? Apalagi kalau ada yang membiayai kuliah, berani demo, jadi sarjana, ikut Pilkades, dan menang. Apakah generasi tambal ban yang kita butuhkan ini akan lenyap ataukah akan ada saja, entah bagaimana caranya, pokoknya selama tidak ada teknologi pengganti, ia tak akan punah.
Ya, akhirnya mereka, dalam obrolan warung kopi itu, bersepakat bahwa apa saja selama belum ada teknologi pengganti, ia akan tetap ada. Meskipun sudah ada artificial intelligence alias AI, selama AI tidak bisa menjadi tukang tambal ban atau tidak bisa ngecat tembok dan membetulkan genting rumah yang bocor, percayalah, mereka selalu ada.
Meskipun yang populer sekarang ini adalah menjadi orang kaya, dan bukan jadi tukang tambal ban, jadi guru, jadi ASN, jadi DPR, hingga jadi Presiden. Bahkan orang tak perlu lagi bertanya apakah saat ini ia sedang gila, sedang bisu atau sedang tuli, dan perlu disembuhkan, akan tetapi asalkan ia kaya raya: semuanya menjadi no problem. (***)
Banyuwangi, 30 Agustus 2025
*Penulis buku Jejak Kritik. Tinggal di Banyuwangi Jawa Timur