Oleh: Moh. Husen*
SUATU hari usai ngobrol dengan beberapa orang secara live di YouTube, seseorang yang sudah malang melintang dan jagoan sebagai aktivis lembaga swadaya masyarakat, menelpon saya: “Aduh, sampeyan itu kalau ngomong terlalu menggunakan adat ketimuran…”
Saya spontan tertawa dan memohon maaf kepada beliau. Beberapa kata memang saya ucapkan secara “sastrawi” sehingga yang keluar dari ucapan saya kurang landep, kurang horeg, sehingga seolah-olah semuanya berjalan datar, tanpa kritik tajam.
Meskipun di dalam hati saya mengumpat: “Kalau memang berani ngomong dan ingin omongannya diketahui banyak orang, bikin saja akun YouTube sendiri, lalu tancap gas. Hajar saja kebusukan ini itu, serang secara terbuka dan telanjangi siapa saja para dalang di belakangnya.”
Apalagi sekarang ini era yang sangat mendukung siapa saja untuk menyampaikan apa saja, tanpa ia perlu mengerti bahwa ia tidak mengerti apa yang ia sampaikan itu benar atau tidak, yang penting segera di-YouTube-kan, di-Facebook-an, di-TikTok-an, di-Instagram-kan.
Meskipun kalau dulu orang berbicara ada yang dibatasi oleh penguasa dan redaktur sebuah media, kini yang membatasi adalah algoritma. Kita boleh berteriak sekeras-kerasnya, tapi kalau tidak sesuai selera mesin itu, suara kita akan tenggelam di antara jutaan unggahan lain.
Jadinya, banyak orang rela menyesuaikan isi pikirannya demi disukai algoritma. Judulnya dibikin provokatif, kalimat dibikin heboh, semua demi satu hal: engagement. Yakni, tingkat keterlibatan atau interaksi sebanyak mungkin orang terhadap sebuah konten yang meliputi klik, like, komentar, dan share.
Celakanya keburukan, tawuran dan sejenisnya lebih cepat banyak mendapatkan klik, views, dan likes. Algoritma akan memberi kita apa yang paling sering kita lihat, bukan apa yang paling baik dan benar. Semakin kita menatap kebusukan, semakin kebusukan ditawarkan kepada kita. Kita tak sadar, bahwa kita sedang memperhalus perintah algoritma sambil merasa bebas.
Dulu yang menentukan layak tidaknya sebuah gagasan adalah manusia: redaktur, editor, atau pembaca yang menimbang isi dengan hati dan pikiran. Sekarang algoritma bekerja seperti penjaga gerbang yang tak terlihat. Ia menentukan siapa yang layak muncul di beranda dan siapa yang harus tenggelam di dasar linimasa.
Namun, di tengah semua itu, saya percaya masih ada orang-orang yang tak tergantung “pasar algoritma”. Maka, kebebasan yang dulu diperjuangkan para aktivis kini berubah bentuk. Kalau dulu suara kebenaran dibungkam oleh penguasa, sekarang disaring oleh rumus matematis. Bedanya, kalau penguasa masih bisa diajak berdialog, algoritma tidak.
Tapi tenang. Kebenaran dan petunjuk ada di tangan Tuhan. Kita bisa memintanya sebagaimana kita rutin meminta uang yang terkadang absurd dan bersembunyi atau disembunyikan entah di mana, toh akhirnya ketemu juga. Bahasa Qurannya: yarzuqhu min haitsu la yahtasib.
Dan Mr Algoritma mungkin tak seseram orang salah ngomong di YouTube. (***)
Banyuwangi, 20 Oktober 2025
*Penulis buku Jejak Kritik (2024). Tinggal di Banyuwangi, Jawa Timur.