Oleh: Moh. Husen*
Karena hingga sekarang saya belum bisa dikatakan sukses secara ekonomi, terutama jika menggunakan parameter punya mobil dan naik haji, maka saya selalu bilang kepada teman-teman warung kopi bahwa tidak sukses itu tidak apa-apa, gagal itu tidak apa-apa. Yang penting usaha. Tapi ucapan saya ini mohon jangan pernah di-share ke Mr Antagonis.
Seserius apapun kita berusaha memperbaiki shalat kita, wirid kita, cari nafkah kita, gerak sosial kita, selama belum seperti parameter yang ditetapkan Mr Antagonis: usahakan jangan bertemu dan berpapasan dengannya kecuali basa-basi silaturrahmi sebentar saja, daripada tak tahan hati dengan pendapat yang pasti berseberangan.
Parameter Mr Antagonis itu, kalau kita ke kanan, ia akan bilang mestinya yang benar itu ke kiri. Begitu kita patuh ke kiri, ia bilang: “Jangan hidup berdasarkan arahan saya. Banyak pendapat di muka bumi ini yang jauh lebih hebat dari saya. Tidak ada tafsir tunggal, apalagi yang benar hanyalah tafsir menurut saya. Mestinya kamu ke kanan saja.”
Terkadang teman-teman sengaja menggoda dengan mengatakan ijazah dan legalitas itu penting, kemudian sudah bisa ditebak dan ternyata benar bahwa Mr Antagonis akan menjawab: “Yang penting itu ilmu dan praktiknya, bukan ijazahnya. Bubarkan saja sekolah dan kampus-kampus kalau cuma merangsang mahasiswa untuk mengejar ijazah belaka.”
Tapi kalau ada santri tekun mencari ilmu di pesantren atau tempat non formal lainnya, Mr Antagonis akan bilang: “Jangan cuma di pesantren. Masuklah ke dunia pendidikan formal. Universitas Agama tak jauh dari tempat kita. Di sana ada ilmu Al-Quran, Ilmu Hadits, dan juga Bahasa Arab, seperti di pondok. Plus pelajaran yang lain, yang kompatibel dengan dunia modern.”
Kita bisa mencari informasi melalui buku, internet atau tanya ke AI: bagaimana pendapat para psikolog mengenai apa saja yang menyebabkan seseorang secara psikologis kok selalu bersikap antagonis terhadap orang lain. Saya malah penasaran bagaimana Mr Antagonis mengomentari ibadah haji. Asyiknya, karena semua pendapat kita pasti disalahkan.
Untungnya Mr Antagonis ini tidak punya kekuasaan dan pengaruh apa-apa di wilayah pemerintahan. Ia hanya muncul di warung kopi yang sudah dimaklumi oleh segenap teman-temannya, bahkan tak jarang “ditanggap” supaya lucu dan menghibur karena di mata dia semua salah. Termasuk, jangan-jangan dia menyalahkan Tuhan, karena mestinya dia dilahirkan jadi perempuan saja.
Maka, bisa dibayangkan kalau dia berdomisili di area pemerintahan dan memegang otoritas kebijakan publik. Rakyat setengah mati menuntut ditegakkannya keadilan, jangan ada ketimpangan kesejahteraan sosial, tapi di tangan Mr Antagonis: yang dikerjakan, diperjuangkan dan diwujudkan bisa malah sebaliknya.
Mr Antagonis mengajari rakyat agar jangan busuk hatinya, jangan mudah mencela, harus bersyukur dan menerima apa adanya, sembari memiskinkan dan melaparkan perut nasib rakyatnya. Memonopoli semua akses ekonomi: beli kain seragam sekolah saja diintruksikan di satu tempat, sehingga penjual kain seragam yang lain harus pasrah tawakkal.
Kalau sampai protes, berarti hatinya kotor, shalat dan dzikirnya tidak berfungsi, sedekahnya kurang ikhlas.
Maka, benarlah Mr Antagonis. Setelah kita protes di berbagai media mengenai ini dan itu, lalu tindakan protes yang merupakan bagian dari usaha merubah keadaan tersebut disalahkan oleh Mr Antagonis. Kini kita serahkan sepenuhnya kepada Allah. Akan tetapi, langkah yang terakhir ini, sekali lagi, jangan sampai di-share ke Mr Antagonis. (***)
Banyuwangi, 13 Mei 2025
*Penulis buku Jejak Kritik. Tinggal di Banyuwangi, Jawa Timur.