Oleh: Purnomo*
DULU di era Abdullah Azwar Anas, Indomaret dan Alfamart jarang sekali kita temukan di Banyuwangi. Mungkin saat itu satu kecamatan hanya ada satu minimarket, baik Indomaret maupun Alfamart.
Sekarang, setelah era Ipuk Fiestiandani, bupati yang juga istri dari bupati sebelumnya, toko modern itu nampak sekali makin bertebaran di mana-mana. Makin bermunculan dan makin banyak. Satu kecamatan bisa lebih dari dua Indomaret maupun Alfamart.
Bahkan, franchise makanan seperti McD, KFC, Mie Gacoan, dan banyak lagi lainnya, juga mulai menjamur. Banyuwangi sekarang makin berubah dari sisi itu. Bisa jadi ini bagian dari perkembangan zaman, seiring dengan bisnis kuliner yang makin bertumbuh.
Namun, saya melihat perubahan ini rasanya kurang menyenangkan. Dan kurang bijak untuk kabupaten seeksotis dan semenarik Banyuwangi. Menurut saya, jika beragam perubahan tersebut adanya di Jakarta, Surabaya, atau Bali, saya masih bisa memaklumi.
Tapi ini Banyuwangi, kota yang tidak mengandalkan kuliner-kuliner modern dengan konsep franchise yang hanya dimiliki pengusaha tertentu saja. Pada aspek kuliner, Banyuwangi seharusnya perlu terus menghidupkan kekayaan kuliner lokal khasnya seperti nasi pecel soto, rujak soto, maupun kuliner oleh-oleh khas Osing.
Bukankah wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, akan lebih tertarik dengan segala hal yang berbau lokal?
Akhirnya, saya hanya berpikir bahwa Banyuwangi sekarang benar-benar sudah tidak mampu menahan pasar global. Bisa jadi nanti ritel asing seperti Circle K, Bintang, dan aneka perusahaan global lainnya akan merangsek kembali ke Banyuwangi.
Semoga slogan “think globally act locally” alias berpikir global dan bertindak secara lokal, dapat diterapkan sekaligus menjadi bagian dari kearifan lokal atas kebijakan-kebijakan para kepala daerah. Tidak hanya Banyuwangi, daerah lain pastinya akan menemukan ancaman yang sama. (***)
*Penulis adalah pemerhati sosial. Tinggal di Banyuwangi, Jawa Timur