Oleh: Veri Kurniawan, S.ST., S.H. (Forum Analisis Kebijakan dan Pembangunan Daerah/FOSKAPDA)
PERNYATAAN mengejutkan datang dari seorang legislator perempuan yang juga merupakan Ketua Fraksi di DPRD Kabupaten Banyuwangi. Ia secara terbuka menyuarakan keprihatinan terhadap dugaan ketidaktransparanan pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR) tambang emas. Pernyataan ini sontak menjadi sorotan publik, tak hanya karena substansinya, tetapi juga karena sosok yang menyampaikannya telah dua periode duduk sebagai wakil rakyat.
Mengejutkan adalah pernyataan dari sosok perempuan dan Ketua Fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Banyuwangi yang menyatakan, “CSR Tumpang Pitu harus transparan. Karena banyak masyarakat yang menilai keberadaan tambang emas Tumpang Pitu manfaatnya sangat kecil bagi masyarakat Banyuwangi.” (Sumber: https://kabaroposisi.net/2025/07/22/ketua-fraksi-demokrat-dukung-soal-transparansi-csr-tambang-emas-tumpang-pitu/).
Tentu, pernyataan ini menimbulkan tanda tanya: ke mana selama ini sosok yang mengutarakan pernyataan tersebut? Sebab, beliau sudah dua periode mengemban amanah sebagai wakil rakyat di Bumi Blambangan. Kenapa baru sekarang mengeluarkan suara? Apakah ini murni menyuarakan suara rakyat, atau ada dugaan sekadar ingin mendapat simpati perusahaan demi penambahan Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang nantinya kembali pakai produk pokir?
Kritik memang bagian dari tugas dewan. Tapi ketika kritik itu datang dari dalam, dan disampaikan oleh mereka yang selama ini punya kewenangan untuk mengawasi, maka kritik itu berubah menjadi cermin—yang memantulkan kembali potret kinerja legislatif itu sendiri. Apakah selama ini fungsi pengawasan dijalankan dengan baik? Apakah suara rakyat benar-benar disuarakan, atau hanya dibuka ketika waktu dan panggungnya dirasa tepat?
Transparansi CSR adalah isu penting, apalagi jika menyangkut keberadaan tambang yang berdampak luas terhadap masyarakat dan lingkungan. Namun, keadilan sosial tidak cukup ditegakkan lewat pernyataan publik sesaat. Dibutuhkan konsistensi, keberanian, dan rekam jejak yang jelas.
Ketika dewan berbicara tentang isu CSR, publik berhak bertanya: ini suara untuk rakyat, atau gema dari panggung politik yang sedang bergeser untuk sebuah harapan yang ingin diwujudkan? (***)