Oleh: Moh. Husen*
DI PANGGUNG outdoor Teras Hotel Ijen Banyuwangi, pada Minggu malam (28/9/2025), setelah grup band Neo Jibles selesai manggung, personil Letto giliran naik. Namun hujan turun lagi setalah sebelumnya juga sudah hujan agak lama. Mereka pun turun panggung. Penonton menepi. Sekitar 15 menit, hujan reda. Letto naik pentas lagi.
Mas Sabrang sang vokalis menyapa penonton. Menyampaikan bahwa suasana, situasi terkadang memang tidak selalu ideal, dan dalam setiap hidup hujan harus terjadi. Dengan situasi pasca hujan ini, Letto membuka nomor pertamanya dengan lagu yang bernuansa khusyuk, yakni Fatwa Hati.
Dulu, saya mendengar lagu Fatwa Hati ini biasa saja. Namun setelah dalam berbagai forum Mas Sabrang menjelaskan lagu tersebut sebenarnya bercerita tentang Tuhan yang berkata kepada manusia sebelum lahir mengenai janjinya dengan Tuhannya beserta deal tugas-tugas hidupnya, lagu ini lantas terasa magis.
Bagi penggemar Letto, saya kira sudah “hafal”: begitulah Mas Sabrang dengan grup band Lettonya. Lirik lagunya begitu mampu menyamar dan universal. Bisa ditafsirkan ke segala arah. Apalagi lagu Senyumanmu, yang ternyata itu ungkapan cinta kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Dalam menulis ini, saya juga iseng-iseng berharap agar bisa menulis secara menyamar. Saya harus menata kata dan kalimat sedemikian rupa agar jangan sampai ketahuan kalau saya sebenarnya sedang sok berceramah, menasehati, menyindir-nyindir sampai nyinyir dan bosok.
Kalau saya mendatangi konser Letto ber-harga tiket masuk, terus terang saja, saya ingin dianggap sedang menyamar sebagai orang kaya. Hari gini, dianggap kaya itu sangat penting sekali pakai banget karena rata-rata hampir semua orang akan sopan-sopan, klepek-klepek dan baik-baik kepada orang yang berduit.
Apalagi jika dianggap berani mengkritik pemerintah. Ini “point besar” daripada sudah capek-capek turun ke jalan, berorasi keras mengkritik pemerintah lha kok cuma dianggap kaum pinggiran yang ingin dapat “cuan kompromi” dengan cara berani teriak-teriak mengkritik pemerintah.
Ah, tapi penyamaran saya itu gagal. Saya gagal dianggap orang berduit meskipun datang ke acara konser Letto dan Neo Jibles ber-harga tiket masuk, dan sukses dirasani: “Husen itu nunut siapa, kok bisa masuk lihat Letto…” (***)
*Penulis buku Jejak Kritik (2024). Tinggal di Banyuwangi, Jawa Timur.