Oleh: Moh. Husen*
SEORANG aktivis tiba-tiba saja geram kepada wali kelas di sebuah sekolah negeri. Pasalnya sederhana, semua murid di sekolah itu, saat kelas 7 dan kelas 8, tidak disuruh membeli paket LKS: Lembar Kerja Siswa. Semua tugas siswa dikerjakan di buku tulis.
Namun begitu kelas 9, dianjurkan beli LKS di toko yang telah ditunjuk oleh pihak sekolah. Sebuah praktik monopoli yang sering kita dengar, yang membuat “iri” toko sebelah. Dan untuk LKS, memang tidak diwajibkan beli. Boleh beli, boleh tidak.
Wali kelasnya dijapri. Memang tak wajib beli dan wali kelas yang sarjana itu memberikan nasehat yang begitu bijak: LKS hanya lembar kerja. Dengan demikian, katanya, bagi yang tidak mampu beli, bisa menggunakan buku tulis.
Si Aktivis berduka. Tidak tega membayangkan betapa susah dan capek anak-anak jika harus mengerjakan tugas-tugas di buku tulis. Pak Aktivis berharap kayak kelas 7 atau 8 saja. Tidak pakai LKS. Kalau harus menulis di buku, ya semua siswa menulis di buku.
Bagi Pak Aktivis, itu praktik kesenjangan antara yang mampu beli LKS dengan yang tidak. Pak Aktivis antara percaya dan tidak percaya kalau sekolah adalah pihak paling dini yang mengajarkan pembiaran kesenjangan terjadi.
Namun, supaya rileks, diplesetkan saja LKS itu menjadi Lembar Kesenjangan Siswa. Padahal mestinya LKS itu menjadi Lembar Kesetaraan Siswa. Setara: kalau semua siswa menulis di buku, ya di buku semua. Dan ini PR sekolah setiap tahun.
Jangan sampai sekolah menjadi pintu paling awal yang mendidik anak-anak secara tidak langsung agar kelak jadi pemimpin yang membiarkan kesenjangan. Kalau ada pemimpin yang membiarkan kesenjangan, coba dicek: apakah ia dulu diajari begitu oleh sekolahnya?
Lantas, tulisan ini arahnya ke mana? Arahnya: di sekolah, jangan ada Lembar Kesenjangan Siswa. Melainkan Lembar Kesetaraan Siswa.(***)
Banyuwangi, 27 Oktober 2025
*Penulis buku Jejak Kritik (2024). Tinggal di Banyuwangi, Jawa Timur.
